Kebijakan
Publik Dalam Implementasi Desentralisasi Dan Otonomi Daerah
NOFRIAN
MAARIWUTH
(B
401 12 121)
ILMU PMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS TADULAKO
2014
Abstrak
Pelaksanaan otonomi di daerah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan
sekarang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menyebabkan terjadinya perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan
Pusat dan Daerah. Dampak perubahan yang luas dan mendasar khususnya dalam
bidang administrasi pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. [1]
Permasalahan yang dihadapi oleh daerah
kabupaten/kota dalam melaksanakan otonomi daerah adalah: a) pengembangan
kemampuan sumber daya manusia; b) pendistribusian sumber daya yang ada; c)
peningkatan partisipasi masyarakat; d) peningkatan keswadayaan; dan e)
Pembangunan hubungan yang harmonis antar komponen masyarakat, terutama
masyarakat, pengusaha, dan penmerintah.
Analisis kebijakan merupakan proses sintesa
hasil penelitian dan ilmu pengetahuan menjadi bahan pertimbangan
dan rekomendasi kebijakan pemerintah sehingga merupakan salah satu simpul
esensial pada sikus lengkap kegiatan penelitian pengkajian. Analisis kebijakan
public ini termasuk kegiatan control birokrasi dalam menjalankan kebijakan yang
di keluarkan.
Agar mendapatkan
sebuah kebijakan yang benar-benar menyentuh substansi dan mampu menyelesaikan
masalah public, para pengambil keputusan dalam mengambil sebuah kebijakan yang
akan digunakan, terlebih dahulu melakukan sebuah analisis kebijakan yang hendak
dibuat. Para actor kebijakan biasanya memulai dengan langkah awal yang disebut
dengan analisis kebijakan. Analisis kebijakan public ini muncul dari adanya
ketidakpuasan dan atau kegagalan terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah.
Analisis
kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara
analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan
publik tertentu dan sesudah
adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik
berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah
rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis kebijakan
sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni
memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat
kebijakan yang lebih berkualitas.
Analisis
kebijakan merupakan proses mengumpulkan data dan informasi mengenai tantangan
dan hambatan serta kebutuhan sebuah kebijakan oleh para pembuat kebijakan
yang melahirkan alternatif-alternatif dalam tindakan kebijakan demi
pemecahan masalah yang dihadapi. Oleh sebab itu, analisis kebijakan sangatlah
penting bagi sebuah kebijakan sebab dengan demikian, maka segala kemungkinan
dan tantangan ketika suatu kebijakan diimplementasikan dapat diantisipasi
dengan baik.
Analisis
kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat
kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan
publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah publik
serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan
pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan.
Pendahuluan
Menurut
Syaukani (2002: 211) dikatakan bahwa kebijaksanaan tentang otonomi daerah,
memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah, khususnya kabupaten dan
kota. Otonomi daerah dilaksanakan dalam rangka mengembalikan harkat dan
martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendidikan politik dalam
rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi
pelayanan publik di daerah, peningkatan percepatan pembangunan di daerah, dan
pada akhirnya diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik (good
governance).[2]
Di
era otonomi saat ini,upaya untuk tetap mengandalkan sumbangan dan bantuan dari
Pemerintah Pusat atau tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi sudah tidak bias
dipertahankan lagi. Otonomi menuntut kemandirian daerah di berbagai bidang, termasuk
kemandirian di dalam mendanai dan pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Oleh
karena itu, daerah dituntut agar berupaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD), guna mengurangi ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat.
Peningkatan
kualitas pelayanan public merupakan salah satu agenda reformasi birokrasi, yag
bertitik tolak dari kenyataan buruk kondisi faktualkualitas pelayanan public
yang sebagian besar di tentukan oleh kualitas sikap dan karakter aparatur
pemerintah yang tidak terpuji, korupsi dan tidak bertanggung jawab.
Membahas
reformasi birokrasi, terlebih dahulu mereviuw kembali pemahaman tentang esensi
pengertian birokrasi. Menurut teori Max Weber dalam karyanya the theory of
economic and social organization, pada dasarnya organisasi ada sebuah
organisasi yang di susun atas dasar rasionalitas, bermakna pengorganisasian yang
tertib, teratur dan hubungan kerja yang berjenjang berdasarkan tata kerja atau
prosedur kerja yang jelas.[3]
Penyelenggaraan
pelayanan public merupakan upaya Negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dasar
dan hak-hak sipil setiap warga Negara atas barang, jasa dan pelayanan
administrasi yang di sediakan oleh penyelenggara pelayanan public. UUD 1945
mengamanatkan kepada Negara untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga Negara
demi kesejahteraanya, sehingga efektivitas suatu system pemerintahan sangat di
tentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan pelayanan public. Pembukaan UUD
1945 sangat jelas dan tegas menyatakan bahwa salah satu tujuan didirikan Negara
Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan rakyat public dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.[4]
Latar belakang
Hessel Nogi S. (200[5]0:
1-3) Kebijakan publik sebagai suatu disiplin ilu tersendiri memperlihatkan tiga
tampilan dalam cakupan studinya yaitu menentukan arah umum yang harus ditempuh
untuk mengelola isu-isu yang ada di tengah masyarakat, menentukan ruang lingkup
masalah yang dihadapi pemerintah, dan mengetahui betapa luas dan besarnya
organisasi birokrasi publik ini. Kemampuan analisis kebijakan publik amat
bergantung pada objektivitas dan keakuratan informasi, serta kepekaan seorang
analisis untuk menempatkan masalah publik secara proporsional dengan
memperhatikan semua stakeholders yang terlibat. Kepekaan ini perlu
diasah melalui pendalaman kasus-kasus kebikan publik yang terjadi pada
masyarakat sekitar dengan memperhatikan faktor rasionalitas serta wacana publik
secara kontekstual.
Pelayanan publik pada dasarnya
menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka
pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang
diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk
pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhikebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas
dan lainnya.
Berbagai gerakan reformasi publik (publicreform)
yang dialami Negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami
oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik
yang diberikan oleh pemerintah.Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan
sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakanoleh pemerintah, antara lain
melalui Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang PedomanPenyederhanaan dan Pengendalian
Perijinan di Bidang Usaha.[6]
Upaya ini dilanjutkan denganSurat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara No. 81/1993[7]
tentangPedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1Tahun
1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada
Masyarakat.[8]
Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan pelayanan
Publik. Oleh karena saya membuat makalah ini dengan judul Pelayanan
PublikPemerintahan Daerah ,dan diharapkan agar kita lebih memahami tentang
Pelayanan Publik Daerah tersebut.[9]
ISI
System
politik di Indonesia sangat berpengaruh terhadap perkembangan tata kelolah
birokrasi local bahkan birokrasi Nasional ketika kita melihat fakta dan
persoalan di lingkungan social dalam pelaksanaan pengembangan kerja birokasi
dalam tataran pelayanan public yang di lakukan oleh para penguasa (pengambil
kebijakan) bahwasanya impek dan sasaran utama adalah Rakyat.
Berdasarkan hasil analisis lapangan
dengan menggunakan indikator output kebijakan dan hasil (outcomes) kebijakan,
kesimpulan menunjukkan bahwa implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan, dengan kata lain
kinerja kebijakan masih relatif rendah.
Berdasarkan kajian teori (konsep) dari
para ahli kebijakan dan ahli otonomi daerah sebagaimana telah dikemukakan di
atas, serta hasil analisis di lapangan, telah diidentifikasi bahwa ada empat
variabel yang dapat menjelaskan bahwa kinerja implementasi desentralisasi dan
otonomi daerah di Kabupaten/Kota, yaitu aspek manajerial, aspek SDM organisasi,
aspek budaya birokrasi, dan etika pelayanan publik.
Keampuan kepemimpinan Bupati/Kepala
Daerah Bupati selaku top manajer di Daerah memegang peranan penting akan
keberhasilan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Mengingat kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah masih merupakan suatu
yang baru bagi pemerintah daerah serta memiliki tujuan yang begitu luas dan
kompleks, jelas memerlukan suatu kemampuan seorang Bupati dalam memanage agar tujuan kebijakan yang
begitu luas dan komleks bisa dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Dalam manajemen
modern, setiap organisasi harus memiliki visi dan misi yang jelas, sebagai
acuan bagi semua komponen dalam melaksanakan aktivitasnya. Visi organisasi
tersebut sedapat mungkin disosialisasikan kepada karyawan, menjadi visi bersama
yang harus diperjuangkan (Ordway Tead, 1954).[10]
Kendala yang dihadapi dalam
merealisasikan misi yang telah ditetapkan adalah lebih disebabkan oleh
pelaksanaan program kerja yang belum terdesain secara baik. Sebagian besar
dinas di daerah selaku pelaksana teknis urusan otonomi daerah belum didukung
dengan renstra yang memiliki logframe
yang baik yang memuat program-program yang dianggap strategis bagi kemajuan daerah.
Di
sadari bahwa kondisi penyelengaraan pelayanan public masih di hadapkan pada
system pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya
manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masi banyaknya
keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media
massa, seperti yang terjadi kabupaten kepulauan Talaud Sulawesi Utara dalam pengurusan
KTP-E dan pelayanan lainya yang terkait dalam palayanan public seprti
pengurusan di RS. Daerah yang begitu banya prosedurnya dan memakan waktu sangat
lama contonya : prosedur yang berbeli-belit, tidak ada kepastian jangka waktu
penyelesaian, biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan,
sikap petugas yang kurang baik terhadap citra pemerintah. Oleh karena itu, wajah birokrasi pemerintah di Indonesia
dari dulu hingga kini boleh dikatakan belum menunjukkan perubahan yang cukup
berarti. Birokrasi tetapi diliputi berbagai praktik penyimpangan dan
ketidakefisienan.
sehingga hampir seluruh urusan masyarakat
membutuhkan sentuhan-sentuhan birokrasi, yang secara umum kemudian
dipersepsikan memiliki konsekuensi dan kerja nyata dari para pengambil kebijakan
dimana hampir keseluruhan itu melibatkan Rakyat.
Dalam
bidang pelayanan publik, upaya-upaya telah dilakukan dengan menetapkan standar
pelayanan publik, dengan harapan pelayanan yang cepat, tepat, murah dan
transparan dapat terwujud. Namun upaya tersebut belum banyak dinikmati
masyarakat. Hal tersebut terkait dengan pelaksanaan sistem dan prosedur
pelayanan yang kurang efektif, berbelit-belit, lamban, tidak merespon
kepentingan pelanggan, dan lain-lain adalah sederetan atribut negatif yang
ditimpakan kepada birokrasi. Indikasi tersebut merupakan cerminan bahwa
kondisi birokrasi dewasa ini dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
masih belum sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat.
Ketidakpuasan
terhadap kinerja pelayanan publik dapat dilihat dari protes masyarakat
berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya kesan
untuk sejauh mungkin menghindari birokrasi pemerintah. Fenomena high cost,
kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi,
kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, inefisiensi dan
birokratis, merupakan kondisi pelayanan publik yang dirasakan oleh masyarakat
selama ini. Fenomena pelayanan publik tersebut disebabkan antara lain oleh
masih banyaknya fungsi dan peran kelembagaan yang tumpang tindih,
pemerintahan yang dirasakan masih sentralistik, kurangnya infrastruktur
e-Government, masih menguatnya budaya dilayani bukan melayani, transparansi
biaya dan prosedur pelayanan yang belum jelas serta sistem
insentif, penghargaan dan sanksi belum memadai.
Kelemahan-kelemahan yang melekat pada
pelayanan publik meliputi aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, dan SDM. Rencana
tindak ke depan berisikan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi
atau menghilangkan kelemahan-kelemahan tersebut. Pertama, untuk mengatasi
tumpang tindihnya fungsi dan peran kelembagaan perlu dilakukan
reformulasi kelembagaan yang ada dengan pembenahan struktur penjabaran stugas
dan fungsi yang jelas dan tidak tumpang tindih, peninjauan kembali peraturan
perundang-undangan mengenai memberikan pelayanan publik yang tumpang tindih,
menata kembali sistem dan prosedur pelayanan publik, dan
menempatkan orang yang tepat pada jabatan/pekerjaan yang tepat,
meningkatkann komitmen dan kompetensi pelayanan. Keempat, masih menguatnya
sikap dan perilaku dilayani bukan melayani merupakan penyakit birokrasi yang
akut. Hal ini dapat dirubah dengan melakukan dan membangun pola pikir aparatur
yang berorientasi pada pelayanan, membangun kemitraan antara pemerintah dan
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, mengurangi peran lembaga
pemerintah untuk hal-hal yang sudah dapat dilakukan masyarakat, membangun
organisasi pemerintah berdasarkan pada kepercayaan, dan mengembangkan sistem
yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Kelima, standar pelayanan yang meliputi
tingkat biaya, prosedur pelayanan, dan jangka waktu pelayanan yang belum
jelas. Hal ini perlu ditangani dengan jalan mendorong terciptanya lembaga
pelayanan publik yang standar dan terukur, dengan membangun sistem
standarisasi pelayanan publik mulai dari input, proses dan output dalam
pelayanan, kemudian dituangkan dalam standar operasi prosedur (SOP) yang
transparan sebagai pedoman bagi setiap lembaga pelayanan, dalam upaya
mendorong dan prosedur yang lebih baik dalam pelayanan, dan
meningkatkan kepedulian aparatur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Keenam, sistem insentif yang lemah perlu diperbaiki dengan lebih
menekankan keseimbangan kualifikasi, kinerja, dan penghargaan, merubah
peraturan perun-dang-undangan tentang sistem remunerasi yang menjamin
terpemenuhinya standar hidup layak dan kesejahtraan PNS, serta
berorientasi pada kelayakan kualifikasi dan kinerja pegawai dengan penghasilan
yang diterima. Ketujuh, penghargaan dan sanksi belum memadai. Hal ini
perlu diperbaiki dengan membangun sistem penilaian kinerja dan pengawasan
yang berorientasi pada pemberian penghargaan dan sanksi pada individu
pada setiap institusi pemerintah, dan didukung dengan peraturan dan ketentuan
perundang-undangan tentang pemberian penghargaan dan sanksi yang tepat Atau
lepas dari itu, melihat apa yang menjadi kenyataan tentang bagaimana kurangnya
pelayanan public yang dilakukan oleh birokrasi, maka dapat disimpulkan bahwa
untuk mengatasi persoalan kemunduran tersebut, sebagai solusi strateginya perlu
memperhatikan beberapa hal, yakni: (1) merubah persepsi dan paradigma birokrasi
mengenai konsep pelayanan; (2) adanya kebijakan publik yang lebih mengutamakan
kepentingan publik dan pelayanan publik dibanding dengan kepentingan penguasa atau
elit tertentu; (3) unsur pemerintah, privat dan masyarakat harus merupakan all
together yang sinergi: (4) adanya peraturan daerah yang mampu menjelaskan
mengenai standart minimal pelayanan publik dan sanksi yang diberikan bagi yang
melanggarnya: (5) adanya mekanisme pengawasan sosial yang jelas mengenai
pelayanan publik antara birokrat dan masyarakat yang dilayani; (6) adanya
kepemimpinan yang kuat (strong leadership) dalam melaksanakan komitmen
pelayanan publik; (7) adanya upaya pembaharuan dibidang sistem administrasi
publik (administrative reform); (8) adanya upaya untuk memberdayakan masyarakat
(empowerment) secara terus menerus dan demokratis.
Birokrasi kita sekarang ini dalam
banyak hal masih menunjukkan kualitas dan kinerja yang tidak mementingkan
Rakyat seperti Menteri Dalam
Negeri Gamawan Fauzi menuturkan sebanyak 290 kepala daerah sudah
berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana karena terbelit kasus. "Dari
jumlah itu, sebanyak 251 orang kepala daerah atau sekitar 86,2 persen terjerat
kasus korupsi," kata Gamawan.[11]
Reformasi birokrasi pada dasarnya
merupakan upaya perubahan yang dilakukan secara sadar, untuk memposisikan diri
(birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan
yang dinamis. Upaya tersebut, dikakukan untuk melaksanakan peran dan fungsi
secara tepat dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sebagaimana
diamanatkan konstitusi. Kesadaran diri untuk melakukan upaya perubahan ke arah
yang lebih baik, merupakan cerminan dari sebuah kebutuhan. Kebutuhan tersebut,
bertitik tolak dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari
harapan. Realitas ini, sesungguhnya juga menunjukkan kesadaran bahwa terdapat
kesenjangan antara apa sebenarnya diharapkan dengan fakta aktual mengenai peran
birokrasi dewasa ini. Reformasi birokrasi memerlukan proses, tahapan waktu,
kesinambungan dan ketertiban sebagai kesatuan komponen yang saling terkait dan
berinteraksi dengan tujuan untuk mewujudkan tujuan reformasi birokrasi.
Reformasi birokrasi bertujuan untuk mewujudkan aparatur negara yang
amanah dan mampu mendukung pembangunan nasional serta menjawab kebutuhan
dinamika bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kesimpulan
Dalam sebuah kebijakan yang di tetapkan
oleh pemerintah dan telah direalisasikan kepada masyarakat ada kalanya
merupakan sebuah kebijakan yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat,
karena kebijakan tersebut mampu menanggulangi krisis dan ketimpangan serta masalah-masalah
yang ada dalam masyarakat, akan tetapi ada kalanya dalam pemerintah membuat
sebuah kebijakan tidak diterima oleh masyarakat karena kebijakan tersebut
dinilai tidak sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada dalam masyarakat. Oleh
karena itu, saran dalam m Smart Paper ini adalah sebaiknya pemerintah dalam membuat
sebuah kebijakan hendaklah melihat realita dalam masyarakat sehingga kebijakan
yang akan ditetapkan dapat diterima oleh masyarakat dan kebijakan tersebut
dapat menjadi solusi yang tepat bagi problematika dalam masyarakat tersebut.
Dalam praktik sistem penyelenggaraan
pemerintahan daerah ke depan perlu mengambil langkah-langkah sebagai berikut.
Pertama, kepala daerah dan perumus kebijakan
perlu dibekali kemampuan dalam hal keterampilan komunikasi dan negosiasi selain
tuntutan keterampilan profesional dan teknis yang dibutuhkan dalam merumuskan
kebijakan publik. Dalam proses kebijakan publik yang demokratis, mereka harus
siap untuk dapat mengakomodasi secara arif dan bijaksana beragam kepentingan
dan kedudukan.
Kedua, untuk mengatasi fenomena proses
pembuatan kebijakan publik yang berorientasi kepada kepentingan elite parpol
dan pengusaha yang memberi modal, langkah yang ditempuh adalah sedari awal
platform dari partai politik harusnya juga memperhatikan relevansinya dengan
pembuatan kebijakan publik bagi kepentingan rakyat. Pemilukada bukan merupakan
proses demokrasi yang bersifat prosedural atau ritual semata tetapi esensi
substansinya setelah proses tersebut, yakni apa yang dibuat dalam kebijakan
publik harus berasal dari rakyat, bersama rakyat, dan untuk rakyat.
Langkah ketiga, calon kepala daerah dan elite
politik dalam parpol perlu peka dan menyikapi atau responsif terhadap tuntutan
sinergi pembangunan yang dilakukan di daerah dengan program pembangunan yang
dicanangkan pemerintah pusat. Oleh karena itu, janji-janji politik yang dibuat
harus juga melihat berbagai visi, misi, dan orientasi kebijakan yang
dicanangkan oleh pemerintah pusat, selain memperhatikan potensi di daerah dan
aspirasi masyarakat daerah. Selanjutnya kepala daerah tidak usah ragu meminta
bantuan fasilitasi para pemikir di bidangnya agar kebijakan yang dilaksanakan
berkualitas bagi kesejahteraan rakyat dan daerah otonomya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar