Rabu, 23 April 2014

Kebijakan Publik Dalam Implementasi Desentralisasi Dan Otonomi Daerah


 Kebijakan Publik Dalam Implementasi Desentralisasi Dan Otonomi Daerah

NOFRIAN MAARIWUTH
(B 401 12 121)


ILMU PMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TADULAKO
2014


Abstrak
Pelaksanaan otonomi di daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan sekarang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebabkan terjadinya perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah. Dampak perubahan yang luas dan mendasar khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. [1]
Permasalahan yang dihadapi oleh daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan otonomi daerah adalah: a) pengembangan kemampuan sumber daya manusia; b) pendistribusian sumber daya yang ada; c) peningkatan partisipasi masyarakat; d) peningkatan keswadayaan; dan e) Pembangunan hubungan yang harmonis antar komponen masyarakat, terutama masyarakat, pengusaha, dan penmerintah.
Analisis kebijakan merupakan proses sintesa hasil penelitian dan ilmu pengetahuan menjadi bahan pertimbangan dan rekomendasi kebijakan pemerintah sehingga merupakan salah satu simpul esensial pada sikus lengkap kegiatan penelitian pengkajian. Analisis kebijakan public ini termasuk kegiatan control birokrasi dalam menjalankan kebijakan yang di keluarkan.
Agar mendapatkan sebuah kebijakan yang benar-benar menyentuh substansi dan mampu menyelesaikan masalah public, para pengambil keputusan dalam mengambil sebuah kebijakan yang akan digunakan, terlebih dahulu melakukan sebuah analisis kebijakan yang hendak dibuat. Para actor kebijakan biasanya memulai dengan langkah awal yang disebut dengan analisis kebijakan. Analisis kebijakan public ini muncul dari adanya ketidakpuasan dan atau kegagalan terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah.
Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas.
Analisis kebijakan merupakan proses mengumpulkan data dan informasi mengenai tantangan dan hambatan serta kebutuhan sebuah kebijakan oleh para pembuat kebijakan yang  melahirkan alternatif-alternatif dalam tindakan kebijakan demi pemecahan masalah yang dihadapi. Oleh sebab itu, analisis kebijakan sangatlah penting bagi sebuah kebijakan sebab dengan demikian, maka segala kemungkinan dan tantangan ketika suatu kebijakan diimplementasikan dapat diantisipasi dengan baik.
Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan.

Pendahuluan
Menurut Syaukani (2002: 211) dikatakan bahwa kebijaksanaan tentang otonomi daerah, memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah, khususnya kabupaten dan kota. Otonomi daerah dilaksanakan dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi pelayanan publik di daerah, peningkatan percepatan pembangunan di daerah, dan pada akhirnya diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik (good governance).[2]
Di era otonomi saat ini,upaya untuk tetap mengandalkan sumbangan dan bantuan dari Pemerintah Pusat atau tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi sudah tidak bias dipertahankan lagi. Otonomi menuntut kemandirian daerah di berbagai bidang, termasuk kemandirian di dalam mendanai dan pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu, daerah dituntut agar berupaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), guna mengurangi ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat.
Peningkatan kualitas pelayanan public merupakan salah satu agenda reformasi birokrasi, yag bertitik tolak dari kenyataan buruk kondisi faktualkualitas pelayanan public yang sebagian besar di tentukan oleh kualitas sikap dan karakter aparatur pemerintah yang tidak terpuji, korupsi dan tidak bertanggung jawab.
Membahas reformasi birokrasi, terlebih dahulu mereviuw kembali pemahaman tentang esensi pengertian birokrasi. Menurut teori Max Weber dalam karyanya the theory of economic and social organization, pada dasarnya organisasi ada sebuah organisasi yang di susun atas dasar rasionalitas, bermakna pengorganisasian yang tertib, teratur dan hubungan kerja yang berjenjang berdasarkan tata kerja atau prosedur kerja yang jelas.[3]
Penyelenggaraan pelayanan public merupakan upaya Negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dasar dan hak-hak sipil setiap warga Negara atas barang, jasa dan pelayanan administrasi yang di sediakan oleh penyelenggara pelayanan public. UUD 1945 mengamanatkan kepada Negara untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga Negara demi kesejahteraanya, sehingga efektivitas suatu system pemerintahan sangat di tentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan pelayanan public. Pembukaan UUD 1945 sangat jelas dan tegas menyatakan bahwa salah satu tujuan didirikan Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan rakyat public dan mencerdaskan kehidupan bangsa.[4]


Latar belakang
      Hessel Nogi S. (200[5]0: 1-3) Kebijakan publik sebagai suatu disiplin ilu tersendiri memperlihatkan tiga tampilan dalam cakupan studinya yaitu menentukan arah umum yang harus ditempuh untuk mengelola isu-isu yang ada di tengah masyarakat, menentukan ruang lingkup masalah yang dihadapi pemerintah, dan mengetahui betapa luas dan besarnya organisasi birokrasi publik ini. Kemampuan analisis kebijakan publik amat bergantung pada objektivitas dan keakuratan informasi, serta kepekaan seorang analisis untuk menempatkan masalah publik secara proporsional dengan memperhatikan semua stakeholders yang terlibat. Kepekaan ini perlu diasah melalui pendalaman kasus-kasus kebikan publik yang terjadi pada masyarakat sekitar dengan memperhatikan faktor rasionalitas serta wacana publik secara kontekstual.
       Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhikebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas dan lainnya. 
Berbagai gerakan reformasi publik (publicreform) yang dialami Negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakanoleh pemerintah, antara lain melalui Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang PedomanPenyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha.[6] Upaya ini dilanjutkan denganSurat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993[7] tentangPedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat.[8] Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan pelayanan Publik. Oleh karena saya membuat makalah ini dengan judul Pelayanan PublikPemerintahan Daerah ,dan diharapkan agar kita lebih memahami tentang Pelayanan Publik Daerah tersebut.[9]
                                                                         














ISI
System politik di Indonesia sangat berpengaruh terhadap perkembangan tata kelolah birokrasi local bahkan birokrasi Nasional ketika kita melihat fakta dan persoalan di lingkungan social dalam pelaksanaan pengembangan kerja birokasi dalam tataran pelayanan public yang di lakukan oleh para penguasa (pengambil kebijakan) bahwasanya impek dan sasaran utama adalah Rakyat.
Berdasarkan hasil analisis lapangan dengan menggunakan indikator output kebijakan dan hasil (outcomes) kebijakan, kesimpulan menunjukkan bahwa implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan, dengan kata lain kinerja kebijakan masih relatif rendah.
Berdasarkan kajian teori (konsep) dari para ahli kebijakan dan ahli otonomi daerah sebagaimana telah dikemukakan di atas, serta hasil analisis di lapangan, telah diidentifikasi bahwa ada empat variabel yang dapat menjelaskan bahwa kinerja implementasi desentralisasi dan otonomi daerah di Kabupaten/Kota, yaitu aspek manajerial, aspek SDM organisasi, aspek budaya birokrasi, dan etika pelayanan publik.
Keampuan kepemimpinan Bupati/Kepala Daerah Bupati selaku top manajer di Daerah memegang peranan penting akan keberhasilan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Mengingat kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah masih merupakan suatu yang baru bagi pemerintah daerah serta memiliki tujuan yang begitu luas dan kompleks, jelas memerlukan suatu kemampuan seorang Bupati dalam memanage agar tujuan kebijakan yang begitu luas dan komleks bisa dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Dalam manajemen modern, setiap organisasi harus memiliki visi dan misi yang jelas, sebagai acuan bagi semua komponen dalam melaksanakan aktivitasnya. Visi organisasi tersebut sedapat mungkin disosialisasikan kepada karyawan, menjadi visi bersama yang harus diperjuangkan (Ordway Tead, 1954).[10]
Kendala yang dihadapi dalam merealisasikan misi yang telah ditetapkan adalah lebih disebabkan oleh pelaksanaan program kerja yang belum terdesain secara baik. Sebagian besar dinas di daerah selaku pelaksana teknis urusan otonomi daerah belum didukung dengan renstra yang memiliki logframe yang baik yang memuat program-program yang dianggap strategis bagi kemajuan daerah.
Di sadari bahwa kondisi penyelengaraan pelayanan public masih di hadapkan pada system pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masi banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media massa, seperti yang terjadi kabupaten kepulauan Talaud Sulawesi Utara dalam pengurusan KTP-E dan pelayanan lainya yang terkait dalam palayanan public seprti pengurusan di RS. Daerah yang begitu banya prosedurnya dan memakan waktu sangat lama contonya : prosedur yang berbeli-belit, tidak ada kepastian jangka waktu penyelesaian, biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan, sikap petugas yang kurang baik terhadap citra pemerintah. Oleh karena itu, wajah birokrasi pemerintah di Indonesia dari dulu hingga kini boleh dikatakan belum menunjukkan perubahan yang cukup berarti. Birokrasi tetapi diliputi berbagai praktik penyimpangan dan ketidakefisienan.
sehingga hampir seluruh urusan masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan birokrasi, yang secara umum kemudian dipersepsikan memiliki konsekuensi dan kerja nyata dari para pengambil kebijakan dimana hampir keseluruhan itu melibatkan Rakyat.
Dalam bidang pelayanan publik, upaya-upaya telah dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan publik, dengan harapan  pelayanan yang cepat, tepat, murah dan transparan dapat terwujud. Namun  upaya tersebut belum banyak dinikmati masyarakat. Hal tersebut terkait dengan pelaksanaan sistem dan prosedur pelayanan  yang kurang efektif, berbelit-belit, lamban, tidak merespon kepentingan pelanggan, dan lain-lain adalah sederetan atribut negatif yang ditimpakan kepada birokrasi. Indikasi tersebut merupakan cerminan bahwa  kondisi birokrasi dewasa ini dalam  memberikan pelayanan kepada masyarakat masih belum  sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat.
Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan publik dapat dilihat dari protes masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya kesan untuk sejauh mungkin menghindari birokrasi pemerintah. Fenomena high cost, kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, inefisiensi dan birokratis, merupakan kondisi pelayanan publik yang dirasakan oleh masyarakat selama ini. Fenomena pelayanan publik tersebut disebabkan antara lain oleh masih banyaknya fungsi dan peran  kelembagaan yang tumpang tindih, pemerintahan yang dirasakan masih sentralistik, kurangnya infrastruktur e-Government, masih menguatnya budaya dilayani bukan melayani, transparansi biaya dan  prosedur pelayanan  yang belum jelas serta sistem insentif, penghargaan dan sanksi  belum memadai.
Kelemahan-kelemahan yang melekat pada pelayanan publik meliputi aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, dan SDM. Rencana tindak ke depan berisikan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan kelemahan-kelemahan tersebut. Pertama, untuk mengatasi tumpang tindihnya fungsi dan peran  kelembagaan perlu dilakukan reformulasi kelembagaan yang ada dengan pembenahan struktur penjabaran stugas dan fungsi yang jelas dan tidak tumpang tindih, peninjauan kembali peraturan perundang-undangan mengenai memberikan pelayanan publik yang tumpang tindih, menata kembali sistem dan prosedur pelayanan publik,  dan menempatkan  orang yang tepat pada jabatan/pekerjaan yang tepat, meningkatkann komitmen dan kompetensi pelayanan. Keempat, masih menguatnya sikap dan perilaku dilayani bukan melayani merupakan penyakit birokrasi yang akut. Hal ini dapat dirubah dengan melakukan dan membangun pola pikir aparatur yang berorientasi pada pelayanan, membangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, mengurangi peran lembaga pemerintah untuk hal-hal yang sudah dapat dilakukan masyarakat, membangun organisasi pemerintah berdasarkan pada kepercayaan, dan mengembangkan sistem yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Kelima, standar pelayanan yang meliputi tingkat biaya, prosedur pelayanan, dan jangka waktu pelayanan  yang belum jelas. Hal ini perlu ditangani dengan jalan  mendorong terciptanya lembaga pelayanan publik yang  standar dan terukur, dengan membangun sistem standarisasi pelayanan  publik mulai dari input, proses dan output dalam pelayanan, kemudian dituangkan dalam standar operasi prosedur (SOP) yang transparan sebagai pedoman bagi setiap lembaga pelayanan, dalam upaya mendorong  dan prosedur  yang lebih baik dalam pelayanan, dan meningkatkan kepedulian aparatur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Keenam, sistem insentif yang lemah perlu diperbaiki dengan  lebih menekankan keseimbangan kualifikasi, kinerja, dan penghargaan, merubah  peraturan perun-dang-undangan tentang sistem remunerasi  yang menjamin terpemenuhinya standar hidup layak dan  kesejahtraan PNS, serta berorientasi pada kelayakan kualifikasi dan kinerja pegawai dengan penghasilan yang diterima. Ketujuh, penghargaan dan sanksi  belum memadai. Hal ini perlu diperbaiki dengan membangun sistem penilaian kinerja dan pengawasan yang  berorientasi pada pemberian penghargaan dan sanksi pada individu pada setiap institusi pemerintah, dan didukung dengan peraturan dan ketentuan perundang-undangan tentang pemberian penghargaan dan sanksi yang tepat Atau lepas dari itu, melihat apa yang menjadi kenyataan tentang bagaimana kurangnya pelayanan public yang dilakukan oleh birokrasi, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi persoalan kemunduran tersebut, sebagai solusi strateginya perlu memperhatikan beberapa hal, yakni: (1) merubah persepsi dan paradigma birokrasi mengenai konsep pelayanan; (2) adanya kebijakan publik yang lebih mengutamakan kepentingan publik dan pelayanan publik dibanding dengan kepentingan penguasa atau elit tertentu; (3) unsur pemerintah, privat dan masyarakat harus merupakan all together yang sinergi: (4) adanya peraturan daerah yang mampu menjelaskan mengenai standart minimal pelayanan publik dan sanksi yang diberikan bagi yang melanggarnya: (5) adanya mekanisme pengawasan sosial yang jelas mengenai pelayanan publik antara birokrat dan masyarakat yang dilayani; (6) adanya kepemimpinan yang kuat (strong leadership) dalam melaksanakan komitmen pelayanan publik; (7) adanya upaya pembaharuan dibidang sistem administrasi publik (administrative reform); (8) adanya upaya untuk memberdayakan masyarakat (empowerment) secara terus menerus dan demokratis.

Birokrasi kita sekarang ini dalam banyak hal masih menunjukkan kualitas dan kinerja yang tidak mementingkan Rakyat seperti Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menuturkan sebanyak 290 kepala daerah sudah berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana karena terbelit kasus. "Dari jumlah itu, sebanyak 251 orang kepala daerah atau sekitar 86,2 persen terjerat kasus korupsi," kata Gamawan.[11]
Reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan upaya perubahan yang dilakukan secara sadar, untuk memposisikan diri (birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan yang dinamis. Upaya tersebut, dikakukan untuk melaksanakan peran dan fungsi secara tepat dan konsisten, guna  menghasilkan manfaat sebagaimana diamanatkan konstitusi. Kesadaran diri untuk melakukan upaya perubahan ke arah yang lebih baik, merupakan cerminan dari sebuah kebutuhan. Kebutuhan tersebut, bertitik tolak dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari harapan. Realitas ini, sesungguhnya juga menunjukkan kesadaran bahwa terdapat kesenjangan antara apa sebenarnya diharapkan dengan fakta aktual mengenai peran birokrasi dewasa ini. Reformasi birokrasi memerlukan proses, tahapan waktu, kesinambungan dan ketertiban sebagai kesatuan komponen yang saling terkait dan berinteraksi dengan tujuan untuk mewujudkan tujuan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi bertujuan  untuk mewujudkan aparatur negara yang amanah dan mampu mendukung pembangunan nasional serta menjawab kebutuhan dinamika bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.






Kesimpulan
Dalam sebuah kebijakan yang di tetapkan oleh pemerintah dan telah direalisasikan kepada masyarakat ada kalanya merupakan sebuah kebijakan yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, karena kebijakan tersebut mampu menanggulangi krisis dan ketimpangan serta masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, akan tetapi ada kalanya dalam pemerintah membuat sebuah kebijakan tidak diterima oleh masyarakat karena kebijakan tersebut dinilai tidak sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, saran dalam m Smart Paper ini adalah sebaiknya pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan hendaklah melihat realita dalam masyarakat sehingga kebijakan yang akan ditetapkan dapat diterima oleh masyarakat dan kebijakan tersebut dapat menjadi solusi yang tepat bagi problematika dalam masyarakat tersebut.
Dalam praktik sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah ke depan perlu mengambil langkah-langkah sebagai berikut.
Pertama, kepala daerah dan perumus kebijakan perlu dibekali kemampuan dalam hal keterampilan komunikasi dan negosiasi selain tuntutan keterampilan profesional dan teknis yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan publik. Dalam proses kebijakan publik yang demokratis, mereka harus siap untuk dapat mengakomodasi secara arif dan bijaksana beragam kepentingan dan kedudukan.
Kedua, untuk mengatasi fenomena proses pembuatan kebijakan publik yang berorientasi kepada kepentingan elite parpol dan pengusaha yang memberi modal, langkah yang ditempuh adalah sedari awal platform dari partai politik harusnya juga memperhatikan relevansinya dengan pembuatan kebijakan publik bagi kepentingan rakyat. Pemilukada bukan merupakan proses demokrasi yang bersifat prosedural atau ritual semata tetapi esensi substansinya setelah proses tersebut, yakni apa yang dibuat dalam kebijakan publik harus berasal dari rakyat, bersama rakyat, dan untuk rakyat.
Langkah ketiga, calon kepala daerah dan elite politik dalam parpol perlu peka dan menyikapi atau responsif terhadap tuntutan sinergi pembangunan yang dilakukan di daerah dengan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah pusat. Oleh karena itu, janji-janji politik yang dibuat harus juga melihat berbagai visi, misi, dan orientasi kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, selain memperhatikan potensi di daerah dan aspirasi masyarakat daerah. Selanjutnya kepala daerah tidak usah ragu meminta bantuan fasilitasi para pemikir di bidangnya agar kebijakan yang dilaksanakan berkualitas bagi kesejahteraan rakyat dan daerah otonomya.




[1] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
[2] Syaukani, Affan Gaffar, Ryass Rasyid. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[3] Max Weber dalam karyanya the theory of economic and social organization
[4] Amanat UUD 1945
[5] Hessel Nogi S. (2000: 1-3)
[6] Inpres No. 5 Tahun 1984
[7] Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993

[8] Inpres No. 1Tahun 1995
[9] Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 
[10]  Tead, Ordway. 1954. The Art of Leadership. New York: Mc. Graw Hill Book Company.

[11] Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar